Dewa: Sebuah Pelajaran dari Drama Korea Goblin


Udah lama nggak ngeblog, and I am so excited to find out kalau sekarang blogger udah masukin tool karakter seperti simbol, huruf braille, sampai emoji-emoji lucu. Jadi kalau mau ketawa nggak perlu nulis 'hahaha' lagi. Tapi bisa tinggal kasih 😀😆.

Anyway, kalian nonton Goblin juga nggak sih? Drama fantasi Korea yang lagi ngehits dengan rating lebih dari 20% itu? Presentase dimana untuk ukuran drama yang tayang di saluran TV kabel udah termasuk luar biasa keren. Sayangnya drama ini tamat begitu cepat di episode 16 beberapa waktu lalu. Nggak ada extended. Yaudah bahagia aja gitu. #EhSpoiler 🙏😳. Namun animo nya masih terasa sampai sekarang terlihat dari banyaknya netizen yang tiba-tiba mengedit poto mereka seolah-olah tertusuk pedang persis kayak si Kim-Shin aka Goblin. Nggak tau aja kalau gara-gara itu si Goblin jomblo selama 900 tahun lebih.

Tema besar di Goblin pada intinya sederhana tapi menjadi muara utama untuk seluruh alur cerita yang ehm... kompleks (?). Dalam kisahnya, para dewa ikut campur dalam menentukan takdir, baik takdir baik maupun takdir buruk. Dewa di sini tentu saja jauh dari bayangan dewa yang sering muncul dalam kisah-kisah dewa lainnya. Ada satu cerita dimana sang dewi (dewanya perempuan ceritanya) mengatakan 'Aku menciptakan gadis itu, agar takdir ini segera diakhiri'. Lalu sang dewa juga berkata 'Kalau begitu biarkan aku menentukan takdir untuk orang-orang yang kusenangi'.

Kehidupan masyarakat kita hari ini bisa diumpamakan seperti cuplikan kisah diatas. Akhir-akhir ini saya seringkali menemukan istilah 'media massa sudah seperti dewa'. Ya, media massa yang jadi konsumsi masyarakat Indonesia itu berperan layaknya dewa. Betapa mudahnya suatu fakta dibolak-balik oleh sebuah judul berita. Persepsi masyarakat ikutan dibolak-balik. Tak jarang saya menemukan orang-orang berdebat dalam kolom komentar cuma gara-gara berita yang belum dikroscek kebenarannya. Kadang suka heran sih sama netizen yang sampai rela berbalas-balas komentar panjang lebar cuma untuk memenangkan argumennya. Apalagi sampai berkomentar dengan kata-kata kasar dan culas. Dih, mau-maunya diadu domba media massa 😒

Bad news is a good news. Kira-kira begitulah bagaimana media massa menganggap bad news sebagai 'good news' untuk mereka. Ini lucu juga terkesan kuno. Kemarin kapan itu saya pergi kondangan dengan teman-teman kampus. Karena acaranya di hotel berbintang dan Jogja lagi sering hujan, kita kepikiran untuk naik mobil. 'Sayang eyeliner luntur entar kalau pakai motor', kata si Lilis. Jadilah hari itu kita pergi naik mobil mas Irfan. Bukan avanza apalagi jazz, mobil mas Irfan ini Panther tahun 1992 yang bentukannya udah ehmm senyentrik yang punya. ya begitulah. Kabel mencuat dimana-dimana,sandaran kursi mobil yang udah patah, engkol kaca mobil yang udah gak ada, pintu mobil yang terlihat ringkih 😭. Karena itu waktu saya mau nutup pintu si Lilis ngingetin 'Hati-hati, ntar jari kamu putus'. Yang kemudian disahut sama Depi 'wkwk, yaelah media amat dah. kuku retak, dibilangnya jari putus'. 

'Biar heboh, biar laku. Kuku retak kurang tragis. Jari putus terdengar lebih sadis' Lilis nambahin. Kita ketawa. Terdengar ironis.

Begitulah media massa mampu menggiring opini masyarakat kesana kemari dengan suguhan beritanya. Apalagi bagi konsumen yang malas bertabayyun, jadilah berita itu ditelan mentah-mentah. Berita yang bagus jarang diminati masyarakat. Senanglah media memberitakan berita yang buruk. Yang panas dan heboh. Yang kira-kira laku. Mampu mempengaruhi masyarakat. Lalu media memberikan apa yang masyarakat mau. 

Seperti salah satu adegan di drama Goblin saat dewa yang merasuki Dokhwa mengungkapkan jati dirinya kepada grim reaper dan kim shin. Dia bilang 'kalian bertanya kenapa dewa melakukan semua hal yang terjadi pada kalian? kalian tak ingat bahwa kalian sendiri yang meminta kepada dewa untuk semua hal itu? lalu kami mengabulkan apa yang kalian minta'. 



Xx

Share:

0 komentar

Any Comment?