Symphony in February
Februari.
Tanda musim hujan
segera berakhir, dan tibalah musim liburan semester ganjil
Drama Cantabile
Tomorrow baru saja saya tamatkan kemarin. Lucu sih, drama ini pada akhirnya
tidak terlalu diminati karena diluar ekspektasi dan berakhir dengan begitu saja
di episode 16. Padahal ‘this is my style’! Classical, walau yah acting si Ne Il
memang lebay. Banyak yang bilang efek klasik dan orkestra dalam drama hasil remake serial Jepang ini kurang digarap serius. Kalau yang versi Korea
saja sudah enak dinikmati, nggak tahu deh gimana yang versi Jepang. Mungkin
benar-benar membuat saya harus segera menonton pertunjukan London Symphony langsung
di Royal Albert Hall.
Dalam lantunan musik
Beethoven yang belakangan kembali saya dengarkan (mungkin karena efek nonton
drama Cantabile Tomorrow), teringat teman-teman baik saya dulu. Yasin. Entah
apa kabarnya sekarang. Kalau beruntung, mungkin dia masih menyempatkan diri
berkunjung ke blog ini, dan membaca tulisan ini. Terakhir dia mengabarkan
perihal saudara perempuannya yang akan lulus dan meminta pendapat soal jurusan
dan kampus yang baiknya dimasuki oleh anak perempuan. Sebelum akhirnya Ia
memutuskan berhenti kuliah, padahal sudah bagus terdaftar sebagai mahasiswa
salah satu kampus teknik paling ngetop di Surabaya. Sebulan kemudian, kabar
bahwa dia memutuskan kembali ke Batam dibenarkan oleh Ulek, yang tak sengaja
melihatnya di Pom Bensin. Sempat tak mengerti jalan pikirannya, saya hanya bisa
mengingat tahun-tahun yang menyenangkan bersama dia. Salah satu teman terbaik
dan terhebat. Dua tahun berlalu semenjak telepon terakhirnya yang seperti ingin
bercerita banyak hal, mengingatkan bahwa sekalipun kamu pernah dekat dengan
seseorang, sekalipun banyak cerita yang dia bagi, yakinlah masih banyak rahasia
yang tak Ia sampaikan. Ia hilang bersama rahasia-rahasia dan keputusannya yang
tak sampai di pikiran saya, entah dimana.
Silvi, salah satu teman
baik di sekolah menengah secara tiba-tiba mengirimi pesan singkat beberapa
minggu lalu. Ini cerita lain. Ia mengabarkan tentang Okta, satu diantara kami
bertiga yang kabarnya sudah tak pernah terdengar. Diantara yang lain, Silvi
termasuk yang paling sering mengirim pesan. Apalagi menjelang Imlek. Dia
keturunan Tionghoa dan beragama Budha. Setiap Imlek, dia selalu mengundang saya
dan Okta untuk main ke rumahnya. Bahkan undangan itu masih berlaku hingga saya
kuliah di Jogja. Okta, kata Silvi tak pernah lagi diketahui rimbanya. ‘Pergi
dibawa cinta sampai ke kota kembang’ katanya. Orang tuanya tak tahu,
teman-teman kerjanya, guru sekolahnya juga tak tahu. Okta anak baik, Begitukah
cinta, membutakan? Tanya saya selesai mendengar Silvi bercerita setelah kemarin
sorenya bertemu mama Okta. Sisanya, saya hanya mendengarkan nasihat Silvi dan
harapannya jika saya bertemu Okta. Mungkin dia kira akan lebih mudah bertemu
dengan orang jika orang itu sepulau dengan kita? Tak tahu dia seberapa luas
pulau ini, bahkan untuk bertemu dengan teman yang juga tinggal di Jogja pun tak
mudah? Saya tak sungguh-sungguh berjanji, tapi mengusahakan.
Tags:
kawan-kawan
Kesukaan
0 komentar
Any Comment?