Kita dan Mereka yang Kita Anggap Lawan
Ender’s Game.
Jangan tanya kenapa
tiba-tiba saya menonton film produksi tahun 2013 ini. Dua puluh menit pertama
saya pikir ini hanya film biasa seperti kebanyakan film luar angkasa lain yang
akan memamerkan kecanggihan teknologi makhluk bumi untuk berperang dengan
Alien. Namun sampai pada setengah
durasinya, mendadak saya jatuh cinta. Jatuh cinta pada cerdasnya Ender Wiggin
dalam mengatur strategi dan kecakapan intuisinya. Ender Wiggin bukanlah pria
tampan yang cool seperti kebanyakan tokoh-tokoh utama lainnya. Dia tak lebih
dari sekedar bocah lima belas tahun yang ditakdirkan untuk memimpin armada luar
angkasa dalam misi menghancurkan Formics, spesies luar angkasa yang pernah
menyerang bumi dan mengakibatkan ribuan nyawa manusia tak berdosa hilang.
Demi mengantisipasi
serangan balik dan menghindari peperangan di masa yang akan datang, dibentuklah
pelatihan komandan dan perang bagi anak-anak cerdas bumi. Anak-anak dengan
kemampuan rata-rata ini direkrut untuk dilatih fisik, kecepatan, ketepatan, dan
pikirannya dalam merancang strategi perang. Apa hal yang menarik dari sini? Seperti teori yang
mengatakan anak-anak memiliki kemampuan untuk meniru dan mempelajari sesuatu
dengan cepat, film ini memperlihatkan bagaimana kemampuan tersebut dimanfaat
untuk membuat armada perang luar angkasa sebab anak-anak lebih pintar dalam mengumpulkan
informasi-informasi baru.
Game atau permainan
merupakan sesuatu yang di tonjolkan disini. Semua anak-anak yang pintar bermain
game bagi saya adalah anak-anak cerdas dengan tingkat ketangkasan dan daya
pikir lebih logik sebab mereka akan terus berpikir tentang strategi-strategi agar menang. Ender melihatkan kemampuannya dalam mengatur strategi untuk
memenangkan berbagai permainan. Baik permainan pikiran ataupun permainan yang sebenarnya
– Menghancurkan keturunan formics selamanya. Sampai disadari, bahwa Ender mempunyai sesuatu yang dibutuhkan seorang pemimpin armada ... hasrat untuk membunuh.
Menonton film ini
membuat saya mengerti satu hal. Untuk bisa mengalahkan lawanmu, setidaknya kita
harus tahu latar belakang lawan dan kebiasaannya. Dengan tahu kelemahannya,
mengalahkannya akan jauh lebih mudah. Selain itu, sisanya adalah pertanyaan-tanyaan
tidak penting yang berputar di kepala saya selama menonton film ini.
Kamu bisa menghindari
pertarungan lainnya dengan langsung memenangkan permainan dalam sekali tarung.
Habisi lawanmu sampai tak ada lagi yang disisakan. Kamu menang. Tapi apa
semudah itu? Bukankah hukum ‘balas dendam’ akan selalu ada? Bukankah kekerasan
hanya akan mendatangkan kekerasan lainnya?
Seberapa yakinkah kita
orang yang pernah menjadi lawan kita akan selamanya mencoba mengalahkan kita?
Mungkin saja Ia yang kita anggap lawan ternyata tak ada niatan untuk
menyakiti kita? Bahwa mungkin saja ia hanya mencoba melindungi dirinya?
Jika si lawan pernah
menyakiti kita, haruskah kita balas menyakiti orang yang kita anggap sebagai
lawan padahal Ia tak ada lagi daya untuk melawan kita dan malah kewalahan untuk
membela dirinya sendiri? Bukankah menjadi seperti itu tak ada bedanya kita dengan mereka, sama-sama suka menyakiti? Lalu apa lebih baiknya kita?
Ender Wiggin juga
membuat saya mengangguk setuju bahwa kemenangan bukanlah sesuatu yang
penting. The way we win is all the
matters!. Menang dengan cara licik? Apa itu bisa
dikatakan kemenangan yang sebenarnya?
Kemudian film ini
berakhir dengan menggantung.
Tags:
FILM
0 komentar
Any Comment?